Halitu (mendirikan tempat peribadatan diatas kuburan) adalah tradisi orang-orang yahudi dan nasrani terhadap kubur nabi-nabi mereka. 6. Laknat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam atas mereka karena itu. 7. Bahwa maksud Nabi shallallahu'alaihi wa sallam adalah memperingatkan kita agar tidak melakukan hal itu terhadap kuburnya. 8.
LARANGAN MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURANOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهAhlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan. Membangun masjid di atas kuburan merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemurkaan dan laknat Allâh Azza wa Jalla .Masalah ini termasuk masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak ditemukan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, padahal itu perbuatan haram. Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a memohon kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati diberbagai negeri Islam di zaman ini. Kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. Lâ Haula wa lâ quwwata illâ billâh Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allâh.[1]Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habîbah Radhiyallahu anha dan Ummu Salamah Radhiyallahu anha menceritakan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam tentang gereja dengan patung-patung yang ada di dalamnya yang mereka lihat di negeri Habasyah Ethiopia, maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأُولَئِكِ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ itu adalah suatu kaum, apabila ada seorang hamba yang shalih atau seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka patung-patung.Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allâh pada hari kiamat.[2]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabdaلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَLaknat Allâh atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.[3]Dari Jundub bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabdaإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَSungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allâh dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalîl kekasih mulia di antara kamu, karena sesungguhnya Allâh telah menjadikan aku sebagai khalîl. Sekiranya aku boleh menjadikan seorang khalîl dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalîl. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid tempat ibadah.Ingatlah, janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai masjid tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.[4]Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid tempat ibadah, mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah [5]Tidak boleh shalat menghadap kubur, karena ada larangan tegas dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَاJangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.[6]Tidak boleh sujud di atas boleh membangun masjid di atasnya tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwa membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.[7]Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bâz rahimahullah menjelaskan dalam fatwanyaHadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.[8]Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.[9]Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnyaSiapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya merobohkannya.[10]Dinyatakan pula oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali dalam kitabnya[11], bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebabOrang yang melakukannya mendapat laknat Allâh Azza wa Jalla .Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah t menyebutkan dalam kitabnya, Zâdul Ma’âd[12], “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir ada itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pembangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya berdasarkan larangan dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan laknat Beliau Shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allâh turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad n , meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[13]Bagaimana dengan makam Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang berada dalam Masjidin Nabawi? Jawaban terhadap syubhat yang ada, “Ada orang berkata, sekarang ini kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam karena kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”Jawabannya adalah sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang Beliau Shallallahu alaihi wa sallam biasa lewati untuk keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para Ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Shahabat g menguburkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sakit yang karenanya Beliau Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaلَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَAllâh melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan.Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkanوَلَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًاSeandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan Beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah berdampingan dengan kuburan para Shahabat di Baqi’. Hanya saja Beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah.[14]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaاَللّٰهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَYa Allâh! Janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allâh melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat untuk ibadah.[15]Kemudian –Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala— terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin Abdul Malik tahun 88 H. Ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam termasuk juga kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi.[16]Pada saat itu tidak ada seorang Shahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-Allamah al-Hâfizh Muhammad Ibnu Abdil Hadi rahimahullah, “Sesungguhnya dimasukkannya kamar Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Shahabat Radhiyallahu anhum yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jâbir bin Abdillah[17], yang wafat pada zaman Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya renovasi masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.[18]Perbuatan al-Walid bin Abdil Malik ini salah -semoga Allâh mengampuninya-.[19]Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Bâri dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawâbul Bâhir, “Bahwa kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”[20]Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَShalat di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.[21]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.[22]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هٰذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُShalat di Masjidku ini lebih utama 1000 seribu kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali daripada shalat di masjid yang lainnya.[23]مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.[24]Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid Beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.[25]Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut[26]Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam .Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam .Menggabungkan rumah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , termasuk pula rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Shahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Shahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Shahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab,[27] dari kalangan Tabi’ tidak ridha atas hal itu.[28]Kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun tiang di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Manhajul Imâm asy-Syâfi’i fii Itsbâtil Aqîdah I/259-264 karya DR. Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil. [2] HR. Al-Bukhâri no. 427, 434, 1341 dan Muslim no. 528 bab an-Nahyu an Binâ-il Masâjid alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar Serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid dan Abu Awanah I/401. [3] HR. Al-Bukhari no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816 dan Muslim no. 531 22 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. [4] HR. Muslim no. 532 23 bab bab an-Nahyu an Binâ-il Masâjid alal Qubûri wa Ittikhâdzish Shuwari fîha wan Nahyu an Ittikhâdzil Qubûri Masâjid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid. [5] Lihat Tahdzîrus Sâjid min Ittikhâdzil Qubûr Masâjid hlm. 29-44 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H. [6] HR. Muslim no. 972 98 dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi Radhiyallahu anhu. [7] Tahdzîrus Sâjid hlm. 45-62. [8] Fatâwâ Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bâz IV/337-338 dan VII/426-427, dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H. [9] Lihat Fatâwâ Muhimmah Tata’allaqu bish Shalâh hlm. 17-18, no. 12 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr – th. 1413 H. [10] Lihat al-Qaulul Mufîd ala Kitâbit Tauhîd I/402 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. [11] Lihat Mausû’atul Manâhi asy-Syar’iyah I/426. [12] Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil Ibâd III/572 tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, H. [13] Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para Ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Iqthidhâ’us Shirâthil Mustaqîm II/187 tahqiq dan ta’liq DR. Nashir bin Abdul Hakim al-Aql, cet. VI Darul Ashimah. [14] HR. Al-Bukhâri no. 1330, Muslim no. 529 19, Abu Awânah I/399 dan Ahmad VI/80, 121, 255. Perkataan Aisyah Radhiyallahu anhuma ini menunjukkan dengan jelas tentang sebab mengapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid sebagai tempat ibadah. Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin. Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 14 [15] HR. Ahmad II/246, al-Humaidi dalam Musnadnya no. 1025 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Imam Mâlik I/156 no. 85, dari Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 25-26 [16] Lihat Târîkhuth Thabari V/222-223 dan Târîkh Ibni Katsir IX/74-75.Dinukil dari Tahdzîrus Sâjid hlm. 79. [17] Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia, Jâbir bin Abdillah bin Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi Radhiyallahu anhuma . Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , ikut dalam bai’at Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, beliau Radhiyallahu anhu membuat halaqah kajian di Masjid Nabawi untuk ditimba al-Ishâbah I/213 no. 1026. [18] Lihat al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir hlm. 175tahqiq DR. Ibrahim bin Khalid bin Isa al-Mukhlif, Majmû’ Fatâwâ XXVII/419 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Tahdzîrus Sâjid hlm. 79-80 oleh Syaikh al-Albani. [19] Tahdzîrus Sâjid hlm. 86 oleh Syaikh al-Albani. [20] Al-Jawâbul Bâhir fii Zuwwâril Maqâbir hlm. 184. [21] HR. Muslim no. 1395 dari Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. [22] HR. Al-Bukhâri no. 1190, Muslim no. 1394, at-Tirmidzi no. 325, Ibnu Majah no. 1404, ad-Darimi I/330, al-Baihaqi V/246, Ahmad II/256, 386, 468, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Irwâ-ul Ghalîl no. 971. [23] Ahmad III/343, 397, Ibnu Majah no. 1406 dari Shahabat Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu. [24] HR. Al-Bukhâri no. 1196, 1888, Muslim no. 1391, Ibnu Hibban no. 3750/at-Ta’lîqâtul Hisân alâ Shahîh Ibni Hibbân no. 3742, al-Baihaqi V/246, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [25] Lihat Tahdzîrus Sâjid hlm. 178-182. [26] Lihat al-Qaulul Mufîd alâ Kitâbit Tauhîd I/398-399. [27] Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makhzumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H. Lihat Taqrîbut Tahdzîb I/364 no. 2403 dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ IV/217-246, no. 88. [28] Majmû’ Fatâwâ XXVII/420 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Home /B1. Topik Bahasan3 Ibadah.../Larangan Mendirikan Masjid Di...
Bahkan kubah yang dibangun di atas kubur Nabi صلى اللهُ عليه وسلم adalah bangunan yang didirikan oleh seorang raja Mesir terakhir yaitu Qaluun Ash-Sholihi yang dikenal dengan Al-Manshur di tahun 678 H. Disebutkan dalam kitab 'Tahqiq An-Nushrah Bitalkhis Ma'alim Dar Al-Hijrah', 'Ini adalah urusan pemerintah, tidak ada
Kelima puluh dua LARANGAN MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURAN[1]Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir JawasAhlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan dan hal ini merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemarahan dan laknat Allah Azza wa ini merupakan masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan dibangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, hal tersebut adalah perbuatan orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a memohon kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka. Perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati dari kebanyakan negeri Islam, di zaman ini yang bisa kita dapati di mana-mana. Dan kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. -Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allah-.[2]Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah Ethiopia. Maka, beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.“Mereka itu adalah suatu kaum, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah pada hari Kiamat.”[3]Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabdaلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”[4]Dari Jundub bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat, beliau Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabdaإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.“Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil kekasih mulia di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil, seandainya aku menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”[5]Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid tempat ibadah, mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah [6]Tidak boleh shalat menghadap kubur. Hal ini ada larangan yang tegas dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا.“Jangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.”[7]Tidak boleh sujud di atas boleh membangun masjid di atasnya tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atasnya kuburan.Beliau rahimahullah juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwasanya Membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.[8]Kemudian dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah dalam fatwanyaHadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.[9]Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.[10]Disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnyaSiapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya merobohkannya.[11]Disebutkan pula oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali dalam kitabnya[12], bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebabOrang yang melakukannya mendapat laknat yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad[13] “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir didirikan itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pem-bangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya berdasarkan larangan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan laknat beliau Shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allah turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[14]Jawaban terhadap syubhat yang ada “Yaitu orang berkata sekarang kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam karena kuburan beliau Shallallahu alaihi wa sallam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi was allam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar Aisyah di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam biasa keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum menguburkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya.Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata “Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sakit yang karenanya beliau Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, beliau Shallallahu alaihi wa sallam اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَا جِدَ“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat peribadahan”Aisyah Radhiyallahu anhuma لاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا“Seandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah berdampingan dengan kuburan para Sahabat di Baqi’. Hanya saja beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah“[15]Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam لاَ تّجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنَا، لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai temp ibadah“[16]Kemudian -Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala- terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin Abdul Malik tahun 88H, ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam termauk juga kamar Aisyah Radhiyallahu anhuma sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi.[17]Pada saat itu tidak ada seorang Sahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-Allamah al-Hafizh Muhammad bin Hadi rahimahullah “Sesungguhnya dimasukkannya kamar beliau Shallallahu alaihi wa sallam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Sahabat Radhiyallahu anhu yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jabir bin Abdillah[18], beliau Radhiyallahu anhu wafat pada zaman Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya renovasi masjid dan masuknya kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terjadi antara tahun 86-96 H.[19]Perbuatan al-Walid bin Abdil Malik ini salah -semoga Allah mengampuninya-.[20]Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Baari dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawaabul Baahir “Bahwasanya kamar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”[21]Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallamصَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.”[22]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.”[23]صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةَ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ.“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama kali daripada shalat di masjid yang selainnya.”[24]مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى حَوْضِي.“Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.”[25]Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.[26]Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata tentang syubhat tersebut[27]Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa Shallallahu alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah beliau Shallallahu alaihi wa rumah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, termasuk pula rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Sahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Sahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal sedikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Sahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab[28], dari kalangan Tabi’in. Dia tidak ridha atas hal itu[29].Kuburan beliau Shallallahu alaihi wa salalm tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan beliau ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak a’lam.[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M] _______ Footnote [1] Lihat pembahasan ini dalam kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil Aqiidah dan Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1422 H. [2] Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil Aqiidah I/259. [3] HR. Al-Bukhari no. 427, 434, 1341 dan Muslim no. 528 bab an-Nahyu an Binaa-il Masaajid alal Qubuuri wa Ittikhadzish Shuwari fiiha wan Nahyu an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar Serta Larangan Men-jadikan Kuburan Sebagai Masjid dan Abu Awanah I/401. [4] HR. Al-Bukhari no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816 dan Muslim no. 531 22 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. [5] HR. Muslim no. 532 23 bab An-Nahyu an Binaa-il Masaajid alal Qubuuri wa Ittikhadzis Shuwari fiiha wan Nahyu an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid. [6] Lihat Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid hal 29-44 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H. [7] HR. Muslim no. 972 98 dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi Radhiyallahu anhu. [8] Tahdziirus Saajid hal 45-62. [9] Fataawaa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz IV/337-338 dan VII/426-427, dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H. [10] Lihat Fataawaa Muhimmah Tata’allaqu bish Shalah hal. 17-18, no. 12 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr-th. 1413 H. [11] Lihat al-Qaulul Mufiid ala Kitaabit Tauhiid I/402 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. [12] Lihat Mausuu’atul Manaahi asy-Syar’iyah I/426. [13] Lihat Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil Ibaad III/572 tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H. [14] Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam Iqthidhaa’us Sirathil Mustaqiim II/187. [15] HR. Al-Bukhari no. 1330, Muslim no. 529, Abu Awanah I/399 dan Ahmad VI/80, 121, 255. Perkataan Aisyah Radhiyallahu anhuma ini menunjukkan dengan jelas sebab mengapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dikuburkan di rumahnya. Beliau Shalallallahu alaihi wa sallam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid sebagai tempat ibadah. Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin. Lihat Tahdziirus Saajid [16] HR. Ahmad II/246, al-Humaidi dalam Musnadnya dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Sanadnya shahih”, Musnad Ahmad VII/173 no. 73520. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik I/156 no. 85, dari Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdziirus Saajid [17] Lihat Taariikhuth Thabari V/222-223 dan Taariikh Ibni Katsir IX/74-75. Dinukil dari Tahdziirus Sajid [18] Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia, Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi. Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ikut dalam bai’at Aqabah dan ikut bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, dia membuat halaqah kajian di Masjid Nabawi untuk ditimba ilmunya. Lihat al-Ishaabah I/213 no. 1026. [19] Lihat al-Jawaabul Baahir fii Zuwwaaril Maqaabir hal. 72, Majmuu’ Fataawaa XXVII/419 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Tahdziirus Saajid hal. 79-80 oleh Syaikh al-Albani. [20] Tahdziirus Saajid hal. 86 oleh Syaikh al-Albani [21] Tahdziirus Saajid hal. 91 oleh Syaikh al-Albani [22] HR. Muslim no. 1395 dari Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. [23] HR. Al-Bukhari no. 1190, Muslim no. 1394, at-Tirmidzi no. 325, Ibnu Majah no. 1404, ad-Darimi I/330, al-Baihaqi V/246, Ahmad II/256, 386, 468, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Irwaa-ul Ghaliil no. 971. [24] Ahmad III/343, 397, Ibnu Majah no. 1406 dari Sahabat Jabir bin Abdillah [25] HR. Al-Bukhari no. 1196, 1888, Muslim no. 1391, Ibnu Hibban no. 3750/ Ta’liiqaatul Hisaan alaa Shahiih Ibni Hibban no. 3742, al-Baihaqi V/246, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [26] Lihat Tahdziirus Saajid hal. 178-182. [27] Lihat al-Qaulul Mufiid alaa Kitaabit Tauhiid I/398-399. [28] Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makh-zumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H. Lihat Taqriibut Tahdziib I/364 no. 2403 dan Siyar A’laamin Nubalaa’ IV/217-246, no. 88. [29] Majmuu’ Fataawaa XXVII/420 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Home /A7. Peranan Masjid Dalam.../Larangan Mendirikan Masjid Di...
Paraulama madzhab Syafi'i berkata, 'Bila kuburan itu berada di tanah milik pribadi, diperbolehkan membangun sesukanya namun disertai dengan kemakruhan, serta tidak boleh dirobohkan bangunan tersebut' ". ( Al-Majmuu' Syarhil Muhadzdzab, 5/298). Alasan pelarangan sekaligus keharaman membangun kuburan di area musabbalah/ pemakaman umum
Ilustrasi membangun kuburan. Foto PixabayMakam merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi orang yang telah meninggal dunia. Umat Muslim disunnahkan untuk merawat makam keluarga maupun saudara sesama Muslim sebagai bentuk penghormatan sekaligus memuliakan hanya membersihkannya dari pohon liar atau rerumputan, banyak umat Muslim yang memaknai anjuran itu untuk merawat makam secara berlebihan. Misalnya dengan membangun makam dan menghiasnya keramik atau mengecat dan menuliskan sesuatu di atas bagaimana sebenarnya hukum membangun makam dalam Islam? Apakah itu diperbolehkan? Simak penjelasan berikut Membangun Makam dalam IslamIlustrasi makam. Foto UnsplashDijelaskan dalam buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2 oleh Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, dalam pandangan fiqh, hukum membangun makam dalam Islam bergantung pada tujuannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa membangun sesuatu di atas makam, seperti rumah, kubah, masjid, atau dinding yang mencuri perhatian, hukumnya haram jika tanpa tujuan yang jelas, apalagi jika tujuannya untuk hukumnya menjadi makruh jika tidak bertujuan untuk menghias atau mempermegah makam. Misalnya, hanya sekadar untuk membedakannya dengan makam yang lain. Hukum makruh ini berlaku selama makam itu dibangun di atas tanah kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah disebutkan, "Makruh membangun pada kuburan sebuah ruang, kubah, sekolah, masjid, atau tembok, ketika tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan, jika karena tujuan tersebut, maka membangun pada makam dihukumi haram." Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 536Sebaliknya, jika yang dijadikan makam adalah tanah wakaf atau tanah tempat pemakaman umum, maka hukumnya adalah haram dan wajib dibongkar. Pasalnya, bangunan makam tersebut dikhawatirkan dapat mempersempit lahan untuk makam orang makam. Foto UnsplashHukum makruf membangun makam dikecualikan jika mayit adalah orang yang saleh, ulama, atau dikenal sebagai wali. Mengutip buku Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan oleh PISS-KTB, jika mayit yang dikubur termasuk golongan orang-orang tersebut, maka hukum membuat bangunan di atasnya termasuk qurbah sesuatu yang dinilai ibadahAlasannya karena bangunan tersebut dapat menghidupkan makam untuk diziarahi dan tabarruk mendapatkan berkah. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin disebutkan“Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata, Meskipun di lahan umum’, dan dia memfatwakan hal itu.” Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum membangun makam adalah haram jika tujuannya tidak jelas dan dibangun di atas tanah milik orang lain, tempat pemakaman umum, atau tanah yang diwakafkan. Namun, jika ada tujuan tertentu, maka hukumnya makruh selama tanah yang digunakan milik boleh membangun kuburan?Apakah boleh memperindah makam?Kenapa kuburan Islam tidak boleh dibangun?

Secaraumum, tidak boleh melakukan kegiatan ibadah di atas kuburan, berdoa menghadap kuburan, dan membangun kubah di atas kuburan. Terakhir ada seorang manusia yang memanjat kubah hijau Masjid Nabawi untuk dihancurkan, lalu disambar petir secara tiba-tiba dan mati. Mayatnya melekat pada kubah hijau tersebut dan tidak dapat diturunkan sampai

Hukummembangun diatas kuburan terlarang sebagaimana dalam sebuah hadits dari sahabat Jabir bin Abdillah: mendirikan bangunan diatas kuburan demikian juga mendudukinya adalah DILARANG. Larangan pada hadits diatas bermakna haram bukan makruh hal ini karena sebuah larangan pada asalnya menunjukan makna haram kecuali ada data dari al-qur'an . 324 6 199 278 163 452 491 405

membangun kubah diatas kuburan adalah haram ini keyakinan kaum